PEMBERONTAKAN KAUM KHAWARIJ


Munculnya Khawarij

Sebutan Khawarij disematkan kepada kelompok yang melakukan pemberontakan terhadap khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. Khawarij atinya adalah “Mereka yang keluar”, jadi kelompok ini disebut Khawarij disebabkan keluarnya mereka dari Dinul Islam dan pemimpin kaum muslimin. Namun bagi kaum Khawarij dimaknai sebagai orang-orang yang keluar rumah untuk berjihat.


Namun demikian, benih-benih Khawarij sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Diceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib pernah mengutus seseorang dari Yaman kepada Rasulullah Saw dengan membawa emas yang belum dibersihkan dari demi dan diletakkan pada kulit yang disamak. Lalu Rasulullah Saw membagikannya kepada empat orang, yaitu Uyainah bin Hishn, Al-Aqra’ bin Habis, Zaid Al-Khail, dan yang keempat bisa jadi Alqomah bin Ulatsah atau Amir bin Thufail. Hal ini membuat Dzul Khuwaishirah At-Tamimi menganggap Rasulullah Saw tidak bersikap adil. Umar bin Khattab atau Khalid bin Walid hendak memenggal lehernya tetapi dicegah oleh Rasulullah Saw dengan bersabda “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia memiliki teman-teman (para pengikut) dimana salah seorang dari kalian memandang rendah sholatnya jika dibandingkan dengan sholat mereka, juga shaumnya jika dibandingkan dengan shaum mereka. Mereka membaca Al-Que’an, tapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembus buruannya (sangat cepat). Dia melihat mata panahnya tapi tidak ada bekas apa pun, lalu dia melihat ikatan yang berada di atas tempat masuknya mata panah tapi tidak ada bekas apa pun, lalu dia melihat batang panahnya tapi tidak ada bekas apa pun, lalu dia melihat bulu panahnya tapi tidak ada bekas apa pun. Panah itu melesat sedemikian cepat hingga tidak meninggalkan kotoran maupun darah.” Inilah yang menjadi pedoman sebagian ulama bahwa tokoh khawarij pertama adalah Dzul Khuwaishirah At-Tamimi.

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, kaum Khawarij muncul dengan mengobarkan fitnah yang menyebabkan terbunuhnya Utsman bin Affan secara lalim dan kejam, Fitnah yang mereka timbulkan itu disebut dengan Al-Fitnah Al-Ula (huru-hara pertama). Setelah membunuh Utsman bin Affan, Kaum Khawarij datang dan mengambil harta Baitul Mal yang jumlahnya sangat banyak.

Alasan Kaum Khawarij Memberontak

Terdapat tiga perkara yang membuat kaum Khawarij mencela para sahabat Rasulullah Saw dan memberontak pada Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Pertama, Ali bin Abi Thalib telah mengangkat beberapa orang sebagai penengah terkait urusan Allah Swt, sedangkan Allah Swt berfirman “Penetapan hukum itu hanyalah hak Allah.” Alasan pertama ini terkait dengan perang Shiffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Latar belakang perang ini setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah, meskipun pada awalnya Ali bin Abi Thalib tidak bersedia. Penerimaan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dari seluruh kekhalifahan Islam sangat sulit karena diantara pendukung Ali terdapat pembunuh Utsman bin Affan. Muawiyah, Gubernur Suriah, yang merupakan kerabat Utsman bin Affan sanagt menginginkan pembunuh Utsman bin Affan diadili di muka hukum. Sedangkan Ali bin Abi Thalib hendak melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas, karena apabila qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang lebih besar. Pertempuran itu berjalan seimbang, sehingga perlu dilakukan at tahkim (perundngan) dengan menunjuk beberapa orang sebagai penengah.

Kedua, Ali bin Abi Thalib telah berperang tapi tidak mau menawan tawanan dan tidak mengambil ghanimah (harta rampasan perang). Seandainya mereka adalah orang-orang kafir, maka menawan mereka adalah halal. Seandainya mereka adalah orang-orang beriman, maka tidak dihalalkan untuk menawan maupun memerangi mereka. Alasan kedua ini terkait dengan perang Jamal yang telah dimanangkan oleh Ali bin Abi Thalib tetapi beliau tidak menawan dan mengambil ghanimah. Perang Jamal adalah perang antara pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Aisyah, janda dari Rasulullah Saw. Latar belakang perang ini adalah Aisyah bersama beberapa sahabat Rasulullah Saw menuntut pertanggungjawaban atas pembunuhan Utsman bin Affan ke Basra menemui Gubernur Basra, Utsman bin Hunaif dan telah bersepakat menahan gerakan pasukan untuk menunggu kedatangan Ali bin Abi Thalib dari Madinah. Namun karena provokasi seorang khawarij yang bernama Jalabah, peperangan antara pasukan Utsman bin Hunaif dengan pasukan Aisyah tidak terbendung yang berakibat terbunuhnya Utsman bin Hunaif, sehingga Ali bin Abi Thalib terpaksa memerangi pasukan Aisyah dan berakhir dengan kemenangan pasukan Ali bin Abi Thalib.

Ketiga, Ali bin Abi Thalib telah mencabut dirinya dari kedudukan Amirul Mukminin berarti dia adalah Amirul Kafirin. Alasan ketiga ini terkait dengan surat perjanjian damai yang dibuat oleh Ali bin Abi Thalib pada peristiwa at tahkim yang tidak menyebutkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mukminin tetapi hanya menyebut Ali bin Abi Thalib saja karena diprotes oleh pihak Muawiyah.

Bantahan Terhadap Alasan Kaum Khawarij Memberontak

Al Qur’an Surat An-Nisa ayat 25 yang membahas hubungan suami istri, Allah, Swt berfirman yang artinya “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan,” pada permasalahan keluarga saja diperkenankan menunjuk juru damai sebagai penengah dari masing-masing pihak, apalagi dalam urusan perang Shiffin yang melibatkan lebih banyak umat dan mencegah pertumpahan darah, maka jelaslah alasan kaum Khawarij yang pertama tidak bisa diterima.

Dalam Al Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 6, Allah, Swt berfirman yang artinya “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka”, dengan demikian perang Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Aisyah adalah pertempuran antara anak dan ibu, sehingga tidak dibenarkan seorang mukmin untuk menawan dan mengambil harta rampasan perang dari ibunya sendiri. Jika tidak menganggap Aisyah ibunya orang mukmin maka mereka ingkar terhadap Al-Qur’an.

Terkait surat perjnjian yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib pada peristiwa at tahkim tanpa mencantum sebutan Amirul Mukminin karena diprotes oleh pihak Muawiyah, peristiwa tersebut serupa dengan peristiwa Hudaibiyah. Karena protes orang-orang musyrik dalam surat perjanjian Hudaibiyah yang semula ditulis “Ini adalah perjanjian damai yang dibuat oleh Muhammad Utusan Allah ….” Akhirnya kata utusan Allah dihapus dan menjadi “Ini adalah perjanjian damai yang dibuat oleh Muhammad bin Abdullah ….” Dengan demikian jelaslah bahwa penghapusan kata Amirul Mukminin pada surat perjanjian tersebut tidak berarti Ali bin Abi Thalib mencabut dirinya dari kedudukan Amirul Mukminin.

Bantahan-bantahan ini telah menjelaskan bahwa alasan Kaum Khawarij untuk keluar dari pasukan Ali bin Abi Thalib nyata-nyata tidak memiliki landasan yang kuat, dan tidak benar adanya.

Belajar dari Kaum Khawarij 

Belajar sejarah tidak sekadar untuk mengetahui peristiwa yang terjadi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengambil hikmah dan pembelajaran dari peristiwa sejarah tersebut, sehingga kita akan menjadi semakin bijak dalam menghadapi segala situasi.

Belajar dari Kaum Khawarij, meskipun kita merasa dalam ibadah sholat, shaum dan membaca Al Qur’an lebih baik dari orang lain, tidak lantas memastikan bahwa kita lebih baik dari orang lain dan menganggap pendapat kita yang paling benar. Kebaikan yang ada pada diri kita tidak lantas membenarkan untuk menuduh orang lain salah (kafir), karena kita tidak bisa membaca isi hati setiap orang. Hanya Allah yang mampu dan berhak untuk menilai tingkat ketaqwaan seseorang.

Bisa jadi munculnya Kaum Khawarij yang menyimpang ini akibat kurang ikhlasnya dalam berjihad, dan masih mengharapkan sesuatu dari apa yang dilakukannya. Oleh karenanya membelajari diri untuk melakukan segala sesuatu secara ikhlas akan membawa kita tidak berprasangka negatif terhadap orang lain.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop
#RCO2019
#TugasLevel3
#Level3Tantangan2

Komentar

  1. Dari postingan ini aku belajar bahwa sebenarnya peristiwa tahkim pada waktu itu bisa kita aplikasikan pada zaman sekarang ini di mana hukum Islam tidak dijadikan panutan.

    Apakah hukum yang berlau sekarang dapat diqiyaskan dengan tahkim waktu itu? Atau tidak?

    Apakah tahkim waktu itu disebut sebagai melanggar hukum Allah yang mewajibkan qisas sebagaimana klaim Khawarij? Kajian seperti ini dirasa perlu untuk melihat pemikiran-pemikiran khawarij di era modern ini.

    BalasHapus
  2. Tapi memang jelas sih kita nggak boleh menjelek-jelekkan Sahabat atas apa yang telah terjadi karena mereka semua (ahlul badar) telah dijamin masuk surga.

    Rasulullah pun mengatakan bahwa generasi tersebut adalah generasi terbaik:

    خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

    Juga, kita diperintahkan oleh Rasul menjalankan sunnah Sahabat

    عليكم بسنتي وسنت خلفاء الراشدين المهديين من بعدي. عضوا عليها بالنواجذ

    BalasHapus
  3. Komplit sekali penjelasannya, Pakpuh. Komentar Mas Zen juga penuh wawasan... Wah, aku awam banget ya!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGABDIAN YANG TULUS

FATAMORGANA KEHIDUPAN