CABUT GELAR AKADEMIK KORUPTOR
Gelar akademik , menurut Wikipedia, adalah gelar
yang diberikan kepada lulusan pendidikan akademik bidang studi tertentu dari
suatu perguruan tinggi. Gelar akademik juga merupakan sertifikat keahlian yang
diberikan oleh perguruan tinggi atas dasar pertimbangan atau kriteria yang
ketat dan tepat yang mempresentasikan penguasaan ilmu, keahlian, dan
profesionalitas yang dimiliki. Glar akademik inilah yang nantinya sebagai bekal
mengabdi dan berkarya dalam masyarakat. Hal ini berart bahwa perguruan tinggi
memiliki tugas moral yang berat dalam memberikan gelar akademik.
Namun demikian, seiring dengan tumbuhnya lembaga
perguruan tinggi, muncul fenomena sosial baru, yaitu gelar akademik dapat
dikatakan sebagai simbol status sosial baru. Hal ini berarti telah terjadi
deviasi pemaknaan gelar akademik yang awalnya merupakan sertifikat keahlian
menjadi sekadar simbol status dan gengsi.
Dulu sebelum ada perguruan tinggi, simbol status
yang dianggap bergengsi adalah gelar kebangsawanan, seperti Raden Mas (RM),
Raden Ayu (RA), Kanjeng Raden Temenggung (KRT) dan sebagainya. Gelar
kebangsaaan ini penting bagi status sosial penyandanganya karena menandakan
asal usul silsilah, status sosial ekonomi, dan keluhuran budi pekerti yang
tinggi, yang semuanya ini akan mendatangkan privilege
dan penghormatan dari masyarakat.
Demikian halnya dengan gelar kebangsawanan, gelar
akademik sebagai status sosial dan gengsi memberikan kepada pemilik terhadap
akses penguasaan ekonomi dan akses politik. Kedua hal ini saat ini merupakan
hal penting yang dicari oleh setiap orang. Seseorang yang memiliki keduanya
akan mendapatkan privilege dan
penghormatan dari masyarakat.
Semua orang tentu menginginkan dihormati dan
dipandang dengan kagum oleh manusia lainnya, sehingga gelar akademik yang
menjadi sarana ke arah tersebut tentu sangat menggiurkannya. Hal inilah yang kemudian
memicu orang untuk mendapatkannya, baik dengan jalan yang semestinya maupun
dengan jalan yang tidak semestinya. Gelar akademik, semestinya diperoleh dengan
menjalani proses pendidikan akademis. Sedangkan jalan yang tidak semestinya
adalah dengan jalan membeli gelar akademik. Saat ini cukup mudah menjumpai
orang yang mampu memberikan gelar akademik dengan imbalan sejumlah uang. Hal
inilah kemudian yang disinyalir menyebabkan perilaku pemagang gelar akademis
tidak mereprestasikan perilaku seseorang yang terdidik dan pantas untuk menjadi
panutan.
Kenyataan yang ada saat ini, jauh dari harapan.
Banyak pemegang gelar akademik yang terlibat dalam kasus korupsi di Indonesia.
Fenomena itu tak bisa dibantah. Mayoritas pejabat atau pihak ketiga yang selama
ini terbukti terlibat praktik korupsi dan suap berasal dari kalangan
berpendidikan tinggi. Bahkan, koruptor bergelar doktor dan profesor pun ada.
Korupsi di Indonesia merupakan kejahatan yang telah
mengakar kuat, dan ditetapkan sebagai tindak pidana luar biasa, sehingga
perlakuan dan hukumannya mestinya juga luar biasa. Hukuman yang diberikan
kepada koruptor tidak hanya hukuman pidana juga sanksi sosial dan moral. Sanksi
tersebut adalah melakukan pemborgolan dan keharusan memakai seragam tahanan
KPK, serta disiarkan secara langsung melalui tayangan televise, ternyata tidak
memberikan efek jera. Bahkan mereka masih menyempatkan diri untuk melambaikan tangan
kepada para pendukungnya.
Oleh karena itu, diperlukan alternatif-alternatif
lain dalam member hukuman. Terlebih bila melihat fakta bahwa rata-rata vonis
hukuman bagi terdakwa korupsi ternyata sangat rendah. Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis catatan rata-rata vonis
hakim dalam kasus korupsi sepanjang 2016 hanya 26 bulan penjara. Itu kurang
lebih hanya 1/8 dari hukuman maksimal. Hukuman ini sama sekali tidak memberikan
efek jera.
Terkait dengan hal tersebut, Soenoto, seorang
pemerhati sosial, menyampaikan wacana agar perguruan tinggi mencabut gelar
sarjana dari berbagai strata bagi para koruptor. Beliau menilai para koruptor
yang merupakan lulusan perguruan tinggi sudah tidak lagi mencerminkan perilaku
intelektual, karena mau mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Pencabutan terhadap gelar akademik yang bisa
memberikan akses ekonomi maupun politik serta memberikan status sosial dan
gengsi yang berdampak pada penghormatan pada pemiliknya merupakan hal yang
perlu dicoba. Bahkan Wakil Rektor ITB Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Bermawi
Priyatna Iskandar mengakui institusinya sudah pernah mencabut gelar guru besar
seorang alumusnya yang terbukti melakukan korupsi.
Sifat manusia yang selalu menginginkan untuk
dihormati pasti akan sangat merasa berat jika gelar akademiknya dicabut,
terlebih bagi mereka yang telah bersusah payah meraihnya. Dengan sanksi sosial dan moral yang berat ini
diharapkan mampu memberikan efek jera sehingga orang menjadi takut untuk melakukan
tindak pidana yang luar biasa ini.
Gelar akademik bisa dicabut oleh perguruan tinggi
yang memberikan. Perangkatnya bisa dirumuskan dengan membuat sebuah fakta
integritas atau perjanjian yang menyatakan bahwa jika pemilik gelar akademik
terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi akan menggugurkan haknya untuk
menyandang gelar tersebut dan disertai segala konsekuensinya.
Pencabutan juga bisa dilakukan melalui perintah
pengadilan. Dasar hukumnya dengan merevisi Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang
pencabutan hak politik bagi koruptor. Artinya, lewat pintu itu, hakim bisa saja
memberikan vonis pencabutan gelar akademik selain pencabutan hak politik
terdakwa korupsi.
Terlepas dari itu semua, sikap kita sebagai bagian
dari masyarakat Indonesia, khususnya pemegang gelar akademik, harus mampu menjaga moralitas dan integritas dengan
terlibat dalam tindak pidana apapun, terlebih-lebih tindak pidana korupsi.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi disebutkan, salah
satu fungsi perguruan tinggi ialah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan demikian, pemegang gelar akademik haruslah mencerminkan
kemampuan perguruan tingginya dalam membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat, jauh dari perilaku koruptif.
Disamping itu, kita mesti mengembangkan budaya anti
korupsi sejak dini. Sejak di lingkungan keluarga dengan budaya jujur.
Memberikan pemahaman kepada anak-anak dan lingkungan kita bahwa tindakan
koruptif sangat merusak dan tidak termaafkan, serta menyadarkan masyarakat
bahwa para koruptor harus diberikan sanksi sosial dan moral yang lebih kejam
agar mereka tidak pernah berpikir untuk mengulanginya dan yang lain tidak akan
pernah mau berpikir untuk melakukan tidakan koruftif.
#tantanganpekanketiga
#kelasnonfiksi
#onedayonepost
#odopbatch5
Setuju
BalasHapus