PNS KITA



“Bekerja di mana mas ?” tanya seseorang di tengah pembicaraan kami yang hangat. “Di Badan Kepegawaian Daerah, Mas,” jawabku dengan malu-malu. “O … PNS ya,” sahutnya. “Iya’” jawabku. Kemudiaan meluncurlah sederet kalimat yang beberapa kali disampaikan orang, yang selalu saja membuat aku malu. “Enak ya jadi PNS, gajinya lumayan besar, mendapat banyak fasilitas, dan kalau pergi dapat uang perjalanan, tidak harus menguras uang pribadi kalau mau jalan-jalan,” katanya sambil tersenyum. “Maaf sebelumnya, Mas,” katanya sesaat sebelum ia melanjutkan perkataannya. “Di sisi lain, pekerjaan PNS ga jelas. Di jam kerja banyak aku lihat PNS yang berkeliaran di pasar, mall, warung kopi, dan tempat-tempat lain yang mestinya bukan tempatnya. Herannya, bagaimanapun pekerjaan mereka, baik atau buruk, setiap empat tahun pasti naik pangkat, kata temanku yang juga PNS,” katanya tanpa bisa aku sela.


Percakapan di atas, merupakan sabagian kecil dari stigma negatif PNS. Tidak hanya PNS yang mendapatkan stigma negatif, demikian pula dengan birokrasi. Ungkapan kalu bisa dipersulit kenapa dipermudah masih saja ada dalam era reformasi birokrasi yang konon akan menata birokrasi sehingga lepas dari jerat korupsi, kolusi dan nepotisme.

Banyak hal yang menyebabkan kinerja birokrasi atau PNS kita sangat rendah, namun dari berbagai sebab itu, terdapat dua hal yang perlu segera mendapatkan perhatian jika menginginkan PNS kita berkinerja tinggi.

Pertama, dibutuhkan Key Performance Indicator (KPI) atau indikator kinerja untuk masing-masing PNS. Kondisi yang ada saat ini, tidak semua PNS memahami jabatannya, hanya mereka yang menduduki jabatan structural saja yang tahu jabatannya. Lainnya jika ditanya jabatannya staf atau pelaksana. Istilah staf atau pelaksana itu sesungguhnya sudah lama ditinggalkan dan digantikan dengan sebutan jabatan fungsional umum, seperti pengolah data diklat, caraka, pengemudi dan sebagainya. Bagaimana seseorang yang tidak tahu jabatannya akan paham pekerjaan apa yang harus ia lakukan.

Jika ada PNS yang paham jabatannya, namun mereka masih belum paham, apa pekerjaan yang harus aku lakukan? Atau, bagaimana pekerjaan saya sehingga saya disebut sebagai PNS yang berkinerja tinggi? Jika tidak paham dengan hal ini, jangan diharapkan PNS akan memiliki inisiatif dalam bekerja.

Oleh karena itu, penting untuk segera merumuskan KPI, melalui ini maka akan terrumuskan si Fulan melakukan pekerjaan apa, dan apa yang dijadikan ukuran berkinerja tinggi atau rendah. Dengan KPI yang jelas, maka PNS yang diukur kinerjanya paham apa yang akan diukur, atasannya sebagai penilai juga memiliki dasar penilaian yang objektif. Dengan demikian KPI akan mendorong PNS berinisiatif dan menemukan arah yang jelas dalam bekerja.

Kedua, sistem kompensasi. Sistem kompensasi yang berlaku pada PNS hanya membedakan gaji berdasarkan masa kerja, sehingga seorang PNS yang selamanya bekerja keras sama saja dengan mereka yang tidak bekerja sama sekali, yaitu setiap 2 tahun gaji naik secara berkala atau biasanya disebut gaji berkala. Dengan sistem kompensasi yang demikian, maka mereka yang bekerja lebih keras akan mengalami demotivasi dan berubah menjadi seperti yang lainnya. Oleh karena itu, mengubah sistem penggajian dari skala tunggal menjadi skala ganda atau setidak-tidaknya menjadi skala gabungan yaitu menggabungkan skala tunggal dan skala ganda akan sangat membantu mendorong PNS berkinerja tinggi.

#Onedayonepost
#ODOPbatch5

Komentar

  1. Menjadi PNS memang idaman pencari kerja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mesti diimbangi dengan kemauan untuk berkinerja tinggi

      Hapus
  2. Menurut aku PNS itu pekerjaan yang membutuhkan iman kuat... hehe. yang paling susah sepertinya menjaga idealisme dan kejujuran di tengah budaya di lingkungan birokrasi yang carut marut, terutama masalah kinerja dan godaan korupsi ya. Semoga jadi PNS yang amanah....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya begitulah kenyataannya, sebagai pelayanan masyarakat godaannya juga besar

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN KAUM KHAWARIJ

PENGABDIAN YANG TULUS

FATAMORGANA KEHIDUPAN