REUNI TIGA SAHABAT
Agus, Adi dan Herman adalah
tiga orang sahabat semasa sekolah dulu, mereka bersahabat sejak SD, SMP dan
SMA. Malam itu mereka berjanji untuk berkumpul di sebuah cafe di kota mereka
tinggal semasa kecil. “Kita reuni kecil-kecilan”, kata Adi ketika ia menelpon
Agus. “Siapa yang akan datang?” sahut Agus di ujung telpon. “Tiga pendekar
Sungai Widas akan hadir”, jawab Adi. “Hahaha,” tawa lepas Agus terdengar,
“Masih saja kamu ingat sebutan itu, baiklah insya Allah besok malam aku akan
datang. Ga usah bawa istri, kan?” lanjut Agus. “Iya, ga usahlah, nanti malah ga
leluasa”, jawab Adi.
Malam itu, tiga sahabat yang
kala SMP disebut sebagai 3 Pendekar Sungai Widas berkumpul di sudut sebuah
cafe. Malam itu, cafe nampak ramai, dengan lampu yang temaram, cafe yang free
Wifi ini cukup banyak dikunjungi anak-anak muda, sekitar usia SMA. Mereka
bergerombol di meja-meja yang disediakan. Sebagian besar pengunjung adalah
laki-laki, namun di setiap gerombol meja, terdapat satu dua perempuan.
Kesibukan masing-masing kelompok berbeda-beda, ada yang bersenda gurau, ada
pula yang nampak ngobrol serius dan ada pula yang relatif sepi karena
masing-masing sibuk bermain gadget
canggih mereka.
Adi adalah yang pertama
datang, kemuadian disusul Herman. Setelah beberapa saat Agus pun datang.
Setelah memesan 3 kopi hitam, dan seporsi besar pisang goreng keju, mereka
bersenda gurau. Mereka mulai mengenang masa-masa kecilnya, mulai dari kebiasaan
bluron (berenang) di aliran sungai
Widas selepas sekolah, mengejar layang-layang putus dan menggoda
perempuan-perempuan cantik di sekolah mereka.
Di sela-sela bercanda, Adi
mulai bercerita tentang keluarga dan kehidupannya. “Aku sekarang tingal di
Jakarta, dengan seorang istri dan seorang anak laki-laki, anakku sekarang SD
kelas 3”, kata Adi. “Enak ya tinggal di Jakarta, apa-apa ada dan kata orang
relatif mudah mencari uang di Jakarta”, kata Herman. “Mungkin kalau hidup
sehari dua hari di Jakarta memang nampak menyenangkan, tapi jika seperti saya
yang setiap hari hidup di Jakarta sangatlah berat”, kata Adi. “Biaya hidup
sangatlah mahal, biaya sebulan anakku yang SD saja, bila dia sekolah di kota
kita, mungkin bisa kita gunakan selama satu semester”, lanjut Adi. “Dan yang
paling menyebalkan di Jakarta, kemacetannya itu. Jika di sini bisa ditempuh
dalam waktu 15 menit, mungkin di Jakarta butuh waktu berjam-jam, jadinya aku
harus berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja meskipun jam kerjanya mulai jam
8 pagi”.
“Ternyata tak seperti yang
aku bayangkan hidup di Kota Besar”, Agus menimpali pembicaraan Adi. “Kerja apa
kamu di Jakarta, Di?” tanya Herman melanjutkan. “Aku bekerja sebagai karyawan
di sebuah perusahaan swasta”, kata Adi. “Sebagai seorang pegawai swasta,
istriku juga pegawai swasta, kami harus pandai pandai mengatur keuangan kami
agar semua beban biaya hidup dapat dicukupi dan bisa sedikit menabung untuk
keperluan kami di masa depan”, lanjutnya. “Tidak seperti Agus yang PNS tidak
perlu memikirkan pekerjaan karena PNS tidak mungkin di PHK, kalau kami
sewaktu-waktu bisa di PHK”, ucap Adi. “Ah, siapa bilang?” tanya Agus. “PNS
sekarang dituntut untuk berkinerja tinggi agar mendapatkan tunjangan kinerja,”
sanggah Agus, “Apalagi tunjangan kinerja yang bisa saja turun, sedah dihitung untuk
pos-pos pengeluaran, sehingga jika tidak dapat tunjangan kinerja bisa kalang
kabut, hahaha”, lanjut Agus diakhiri tawa yang renyah.
Sementara mereka bercanda
dan membicarakan banyak hal, tak terasa hari semakin malam, adzan isya sudah
lama berlalu. Semakin malam, cafe tidak semakin sepi tapi justru semakin ramai
pengunjung. Meja dan kursi yang disediakan sudah penuh, sekarang penunggu cafe
untuk menampung pengunjung mulai menggelar tikar di halaman cafe yang
berpaving. Suara musik yang melankolis terus terdengar.
Ketiga sahabat itu telah
sekitar 2 jam-an ngobrol, namun Adi yang sejak kecil adalah sahabat yang paling
care diantara mereka, menyadari jika
sejak tadi Herman tidak banyak bicara dan memendam sesuatu.
“Maaf sebelumnya, Her”, kata
Adi memulai pembicaraan yang sempat terhenti sejenak. “Ada apa, Di”, jawab
Herman. Agus juga ikut mendengarkan dengan lebih serius. “Sejak tadi kamu kok
banyak diam, kalau memang ada masalah dan kamu tidak keberatan untuk kami
ketahui, kamu cerita saja, siapa tahu kami bisa membantu”, lanjut Adi dengan
hati-hati, takut menyinggung perasaan teman baiknya. “Iya, Her, tidak baik
memendam permasalahan, siapa tahu kami bisa memberikan masukan dan dapat
sedikit membantu”, timpal Agus.
Dengan terlebih dahulu
manarik nafas yang panjang, Herman dengan ragu mulai bercerita. “Maafkan
sebelumnya teman-teman”, Herman mulai ceritanya, “Jika mendengar cerita kalian,
aku sangat ngiri, kalian punya keluarga dan pekerjaan yang sangat baik dan
dirindukan banyak orang”, lanjut Herman. Adi dan Agus menahan untuk tidak
menyela dan terus diam mendengarkan agar Herman bisa bercerita lebih lanjut.
“Beda dengan keluargaku,
seperti sudah kalian tahu, anak kami ada 3 dan masih kecil-kecil, sulung
berusia 5 tahun, sekarang sekolah TK, yang nomor 2 usia 3 tahun dan yang bungsu
baru lima bulan”, lanjut Herman bercerita. “Istriku tidak bekerja, dia tidak
tahu bagaimana susahnya mencari nafkah di Surabaya, dia tahunya hanya
kebutuhannya dicukupi”, kata Herman dengan diiringi tarikan nafas panjang. “Dua
bulan yang lalu aku di PHK dari pekerjaanku, dan tabunganku hari ini mulai
habis, sementara kebutuhan semakin menyekik dan aku pulang ini bermaksud
menitipkan si sulung ke orang tuaku, agar bisa sekolah di sini untuk
meringankan bebanku”, lanjut Herman. “Aku ga tahu, apakah dalam waktu dekat aku
dapat kerjaan dan hidup keluarga kami bisa kembali seperti sedia kala”, ungkap
Herman.
Dua sahabatnya ikut menarik
nafas yang panjang mendengar cerita Herman. Kemudian Adi mengelus pundak kawannya
dan mengatakan, “Kita memang tidak tahu rencana Tuhan, Her”. “Aku juga tidak
tahu jika dihadapkan permasalahan seperti apakah aku sanggup melewatinya?”
lanjut Adi.
“Memang jalan ga selalu
mudah, kadangkala sempit dan menanjak, bahkan penuh lubang, tapi juga tidak
selamanya sukar, suatu saat aku yakin jalan juga akan lebih mudah, jadi ga
perlu terlalu bersedihlah, coba kita pikirkan alternative-alternatif yang bisa
kita lakukan”, kata Agus member semangat. “lalu, sementara ini apa yang akan
kamu lakukan?” tanya Agus. “Menitipkan si sulung ke orang tua, itu yang bisa
aku lakukan untuk meringankan bebanku, yang lainnya belum aku pikirkan”, jawab
Herman.
“O, iya, aku teringat
seuatu, beberapa waktu yang lalu, aku punya kenalan yang butuh orang untuk
mendesign kemasan produknya, dan enaknya design yang dibuat bisa ditawarkan
lewat online. Seingatku dulu istrimu kan sarjana seni rupa, sehingga ia
memiliki kompetensi untuk membuat design itu, coba kamu sampaikan ke istrimu,
nanti aku hubungkan dan jika aku yang minta tolong insya Allah akan
diperhatikan”, papar Adi memberikan alternative solusi. “Iya, Her, apa salahnya
dicoba?” timpal Agus. “Setidaknya dicoba dulu, nanti kita lihat hasilnya’”,
lanjut Agus. “Gimana ya? Istriku ga biasa bekerja, apakah ia mau?” jawab
Herman. “Buang pikiran negatif Her, selama ini mungkin istrimu belum
mendapatkan kesempatan untuk berkarir jadi menerima jadi ibu rumah tangga, jika
diberikan kesempatan dan tidak akan mengganggu aktivitasnya untuk keluarga saya
yakin ia mau”, kata Agus. “Yang terpenting, selain kamu mengijinkan, kamu juga
harus bantu menyelesaikan pekerjaan rumahnya, karena sesungguhnya kita, suami
istri itu, mitra yang harus saling membantu”, tambah Adi.
“Baiklah kawan-kawan,
tawaran Adi akan aku sampaikan kepada istriku, semoga ia menyetujuinya”, kata
Herman. “Sementara itu dulu kita lakukan, masih ada beberapa hal yang bisa kita
coba, karena aku dengar perusahaanku juga mau buka cabang di Surabaya, mungkin
nanti bisa aku jembatani untuk masuk ke perusahaanku”, kata Adi. “Maaf ya her,
aku ga bisa bantu apapun, aku hanya bisa doakan semoga permasalahanmu cepat
selesai. Inilah guna pertemanan, siapa yang kesulitan dan kita bisa membantu,
pasti akan kita bentu sepenuhnya. Kamu mesti yakin kalau kamu bisa melewati cobaan
ini, katanya tidak akan dicoba seseorang di luar batas kemampuannya”, imbuh
Agus.
“Terima kasih teman-teman,
semoga bantuan yang kalian berikan mendapatkan imbalan yang lebih baik dari
Allah” pungkas Herman. “Aamiin, besok sore aku akan ke rumahmu untuk
menindaklanjuti pembicaraan kita, dan sebelum itu aku harap kamu sudah berikan
sedikit gambaran ke istrimu”, kata Adi.
Malam itu 3 pendekar Sungai
Widas itu melanjutkan pembicaraan dengan lebih ceria. Pengunjung mulai
meninggalkan cafe dan hanya tertingal dua rombongan selain 3 sahabat itu.
Karena waktu buka cafe sudah hampir habis, waktu sudah menunjukkan pukul satu
kurang tujuh menit dan mata ketiga sahabat sudah mulai ga bisa diajak kompromi,
maka mereka saling berjabat tangan untuk ketemu besok siang sesuai janji
mereka.
Malam itu, mereka semakin
yakin kalau semua permasalahan pasti ada pemecahannya, lebih-lebih mereka
memiliki sahabat sahabat terbaik yang setiap saat mau membantu. Malam itu,
Herman yang beberapa hari ini tidak bisa memejamkan mata untuk istirahat dengan
tenang, cukup cepat tertidur dengan harapan, besok pagi akan menjadi hari yang
lebih baik bagi keluarga dan persahabatan mereka.
#Tantangankedua
#TantanganODOP
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
Widih keren, pesan moralnya dapat.
BalasHapusDikit kasih kirisan ya mas her, utk pnggunaan kata asing dan kata tak baku jgn lupa pke astrotof ya, tanda miring. Trus utk tanda koma, biasakan koma dahula baru tnda petik. :)
Teruslah menulis 👍✊✊
Terima kasih mbak Rene, masih banyak kelemahan kali kasih kritik dan saran ga usah tanggung tanggung, ini tulisan fiksi pertama saya, penggambaran tokohnya juga lemah, apalagi keburu waktu karena ada jadwal ke gunung kidul jadi sangat jauh dari bagus
HapusYa Alloh sedih banget itu di Herman, semoga ada jalan keluar.
BalasHapusTerimakasih telah mengerjakan tantangan.
Terima kasih mbak Wiwit disempatkan baca, semoga bisa melakukan setiap tantangan
Hapus