DERITA PENGGUNA ELPIJI NON-SUBSIDI



Pagi itu, udara masih terasa dingin, beberapa orang nampak berangkat olahraga pagi. Namun, Pak Suyitno tidak berolahraga pagi seperti biasa, tapi membonceng anak sulungnya, dengan membawa tabung Elpiji 12 Kg. “Kemana Pak Puh?” tanyaku ketika beliau melintas di hadapanku yang sedang melakukan peregaan di depan rumah. “Nyari Elpiji Mas, semalam habis dan pagi ini si kecil harus dimandikan dengan air hangat”, sahutnya. Pak Suyitno adalah tetangga sebelah rumah dengan uisa sekitar 45 tahun. Perawakannya sedang bahkan senderung kecil dengan potongan rambut yang selalu pendek seperti anggota TNI. Ia seorang kepala keluarga dengan 2 orang anak, si sulung sudah duduk di bangku SMP Kelas VIII, sedang si bungsu masih TK Kecil. Setiap pagi, si bungsu sebelum sekolah selalu dimandikan dengan air hangat, sehingga kehabisan elpiji harus diatasi pagi ini, jika ingin si bungsu sekolah.


Setelah beberapa saat, nampak beliau kembali melintas di hadapanku. “Sudah Pak Puh?” tanyaku basa basi. “Yang besar ga ada mas, adanya yang kecil-kecil 3 kilo-an”, jawabnya. “Ini ambil helm mau cari di pom bensin”, lanjutnya. “Sekarang agak susah mencari elpiji 12 kilo-an, sudah mahal susah carinya”, katanya. Sambil tersenyum aku menyahut sekenanya “Ganti aja dengan yang kecil, Pak Puh”. “Iya, yang penting ini dapat dulu dan coba nanti nyari tabung yang kecil, sekarang aku belum punya tabungnya”, jawabnya.

Beberapa menit kemudian, beliau datang. Bersama anaknya, ia mengangkat tabung elpiji 12 kg yang telah berisi. Sesaat kemudian, ia telah kembali keluar dan membawa sapu untuk membersihkan jalan di depan rumahnya. Kami tinggal di kawasan perumahan, sehingga hampir tidak ada rumah yang berhalaman, jalan adalah halaman rumah kami.

Sebelum menyapu jalan, ia menyempatkan berdiri di sisiku dan terpaksa kuhentikan gerakan olahragaku. “Elpiji tabung besar sekarang isinya jauh dari standar, tadi itu di pom bensin masih ada 2 tabung, tapi keduanya sudah tidak tersegel lagi”, ceritanya. “Mau ga dibeli, cari di lain tempat susah, mau dibeli pasti isinya berkurang”, lanjutnya. Aku hanya bisa terdiam mendengarkannya. Tidak menunggu responku, ia melanjutkan, “Setelah terpasang, dari alat ukur tekanan yang ada di regulator, ternyata isinya jauh dari biasanya”. Mendengar ceritanya aku hanya bisa menarik nafas panjang, menyesalkan apa yang terjadi. “Tapi mau apa lagi, kita butuh sih”, lanjutnya. “Entahlah Pak Puh, sampai kapan pemerintah mampu melindungi warganya dari berbagai macam kecurangan yang ada”, ungkapku setengah protes pada keadaan. “Ya … semoga ke depan pemerintah kita bisa lebih melindungi masyarakatnya”, kataku untuk menghiburnya, terutama menghibur diriku sendiri.

***

Kejadian di atas cukup menggambarkan bagaimana masyarakat kita yang cukup memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi elpiji non-subsidi ternyata tidak terbantu oleh kebijakan pemerintah. Pemerintah kita mengeluarkan dua jenis tabung elpiji, yaitu 12 kg (besar) dan 3 kg (kecil). Elpiji tabung 12 kg merupakan elpiji non-subsidi, sedangkan tabung 3 kg adalah elpiji ber-subsidi. Kesulitan masyarakat untuk mendapatkan elpiji non-subsidi sangatlah sulit, pasaran elpiji dipenuhi dengan elpiji yang ber-subsidi. Kondisi ini yang akan mendorong masyarakat pengguna elpiji non-subsidi lambat laun beralih ke elpiji ber-subsidi.

Hal tersebut sangatlah ironis, karena di sisi lain, pemerintah mencabut beberapa subsidi yang diduga salah sasaran. Hal ini telah mendorong melonjaknya harga kebutuhan pokok di pasaran dan mau tidak mau menjadi beban bagi masyarakat terutama masyarakat kecil. Namun, untuk elpiji, masih banyak masyarakat yang dengan sadar melihat kemampuannya, mau mengkonsumsi elpiji non-subsidi tetapi tidak dipermudah justru kesulitan dalam memperolehnya. Lalu, dimana peran pemerintah dalam distribusi elpiji non-subsidi ini.

#Onedayonepost
#ODOPbatch5

Komentar


  1. Disini justru si ijo yang pernah menghilang dari pasaran ketika santer kabar pink dan ungu akan datang menggantikan. Kabarnya, harus membawa kartu miskin untuk membawa si ijo pulang. Tapi nyatanya setiap hari saya bertemu si ijo sejumlah kompi pasukan di depan kios laundry yang lumayan besar. Dalam hati bergumam, "Apa kios laundry ini punya kartu miskin setumpukan?"


    BalasHapus
  2. Terima kasih Mbak Nurul sudah Sudi mampir, meski bukan jadwal BW
    Memang, banyak fenomena yg hrs jadi bahan evaluasi pemerintah agar lebih baik lagi melayani rakyat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN KAUM KHAWARIJ

PENGABDIAN YANG TULUS

FATAMORGANA KEHIDUPAN