PENGABDIAN YANG TULUS



Hardi tertunduk lesu, tatkala panitia pemilihan kepala desa membacakan perolehan suara yang menmpatkan dirinya ada di urutan ke-2, kalah bersaing dengan musuhnya dengan selisih hanya 12 suara. Hiruk pikuk suara pendukung Sang Pemenang tak membuatnya segera beranjak dari tempat duduknya. Beberapa orang pendukung menghampirinya untuk mengajak pulang dari balai Desa yang digunakan sebagai tempat pemungutan dan perhitungan suara.


Hardi dan beberapa pendukungnya menyibak kerumunan massa yang sedang dipenuhi euphoria kemenangan untuk mendapatkan jalan pulang. Kondisi psikologis antar pendukung calon Kepala Desa masih terasa “panas”. Tatkala ada suara mengejek dari kerumunan massa, beberapa pendukung Hardi menanggapinya secara emosional hingga akhirnya terjadi perang mulut antar pendukung dan hampir saja terjadi bentrok. Namun Hardi tak akan pernah mendiamkan hal itu terjadi. “Cukup!” teriaknya ketika perang mulut antar pendukung itu tak kunjung mereda. “Dengarkan semua, hari ini saya minta seluruh pendukung saya pulang, nanti selepas Isya jika tidak ada keperluan lain, silakan datang ke rumah. Ada beberapa hal yang harus saya sampaikan,” lanjutnya. Kemudian sebagian besar pendukungnya beranjak dari Balai Desa dengan rasa tidak percaya “jagonya” telah dikalahkan dengan penuh kecurangan.

***

Adzan Isya baru saja berlalu, Desa Sukoharjo tampak tenang.  Beberapa rumah penduduk yang di pingir jalan raya telah dijadikan warung kopi oleh pemiliknya untuk menambah penghasilan, disamping sebagai petani. Warung-warung itu biasanya buka selepas magrib, karena pemiliknya sepanjang siang harus bergelut dengan lumpur sawah. Malam itu, tidak seperti biasa, warung-warung nampak ramai. Pengunjungnya membicarakan hasil pemilihan kepala desa yang tadi siang baru mereka selesaikan. Tak lepas pula membicarakan Hardi salah satu calon Kepala Desa yang kalah akan mengumpulkan pendukungnya. Mereka menduga-duga apa kira-kira yang akan dikatakan Hardi kepada para pendukungnya? Mungkinkah Hardi akan menolak hasil pemilihan dan menempuh jalur hukum untuk menggagalkan pemilihan.

Beberapa hari sebelum pemilihan Kepala Desa, beberapa orang yang mendukung Hardi mendatangi  rumah calonnya untuk melaporkan bahwa sebagian warga telah diberikan sejumlah uang dan sembako agar memilih Wito. Para “kader” Hardi juga telah mendapatkan cukup bukti dan pengakuan warga atas peristiwa itu. Namun Hardi menolak untuk mempermasalahkan hal tersebut kepada Pengawas Pemilihan Kades ataupun Pihak Berwenang. Dia hanya menghimbau kepada warga masyarakat agar tidak tertipu oleh pemberian apapun calon lain demi kenajuan desa mereka. Memang Hardi selama ini dikenal oleh masyarakat sebagai pemuda yang tidak senang dengan segala macam pertengkaran. Bahkan dia dikenal sebagai orang yang tidak pernah berambisi untuk menduduki sebuah jabatan di desanya. Pencalonannya pun atas kehendak tetangga sekitarnya, sehingga money politic sebagai bentuk keambisusan seseorang untuk menduduki jabatan politis, sangat dijauhinya, meskipun dia tergolong sebagai pengusaha pertanian yang sukses dan apabila mau tentu bisa saja melakukannya. Berbeda dengan Wito, calon Kepala Desa lawannya, dikenal sebagai seorang yang sangat berambisi untuk menjadi Kepala Desa, bahkan dia telah mencalonkan diri sebanyak 2 kali sebelum Pilkades kali ini dan kedua-duanya mengalami kekalahan dari kades yang lama. Sedangkan Kades yang lama tidak mencalonkan lagi karena usianya sudah sangat tua.

Sementara itu, di rumah Hardi, telah berkumpul puluhan orang dan masih berbondong-bondong yang lain untuk menyambut undangan Hardi siang tadi. Bale  yang biasanya digunakan untuk menampung pembelian hasil panen sekarang telah dipenuhi orang, sebagian besar laki-laki. Sedangkan perempuannya hilir mudik membantu untuk mengeluarkan piring-piring yang berisi makanan dan poci-poci yang berisi the ataupun kopi. Mereka bergerombol sambil membicarakan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak lawan, hingga suaranya seperti lebah berdengung. Setelah bale penuh, mereka yang baru datang menggelar tikar di halaman yang telah dikeraskan dengan semen dan cukup luas yang biasa digunakan untuk mepe (mengeringkan) hasil panen. Karena yang datang sangat banyak mencapai ratusan orang, beberapa pemuda berinisiatif untuk menyiapkan Sound System agar nantinya suara Hardi yang akan menyampaikan beberapa hal dapat didengar oleh semua yang hadir.

Jam dinding di bale itu menunjukkan pukul 20.15 WIB ketika beberapa orang keluar dari rumah utama menuju bale diikuti Hardi di belakangnya. Seketika itu pula suasana menjadi senyap, semua menunggu Hardi untuk berpidato. Mereka serasa menahan nafasnya, bagai hamba menunggu titah Sang Raja. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarahkatu,” Hardi mengawali sambutannya di depan speaker yang telah disiapkan. “Waalaikumsalam,” jawab mereka yang hadir secara serentak. “Terima kasih semuanya yang telah hadir memenuhi undangan saya tadi siang, meskipun undangan ini tidak resmi ternyata yang hadir cukup banyak. Hal ini menandakan bahwa panjenengan semua memang masih setia menemani saya meski dalam kekalahan,” sesaat ia berhenti. “Saudara-saudaraku sekalian,” lanjutnya, “Menjadi Kepala Desa sama seperti menjadi kepala keluarga, menjadi anak, menjadi teman ataupun jabatan-jabatan lainnya, semua adalah sarana bukan tujuan, sehingga tidak mengapa apabila saya gagal menjadi Kepala Desa,” bicaranya terhenti karena beberapa orang berucap yang tidak jelas tapi menggambarkan kekecewaannya. Sesorang yang berdiri di samping kanan Hardi mengangkat telunjuknya kea rah bibirnya, mengisyaratkan agar hadirin tenang menunggu kalimat Hardi selanjutnya. “Bagi saya yang paling penting adalah kesejahteraan semua warga masyarakat, tidaklah penting siapa yang menjabat sebagai Kepala Desa. Oleh karena itu, jika panjenengan semua masih mencintai saya dan desa kita, marilah kita lupakan pilkades hari ini. Kita harus menatap masa depan, tidak boleh terbelenggu oleh sebuah kegagalan. Marilah kita bersama-sama membangun desa kita tercinta. Bukan untuk Kades terpilih tapi demi kita semua.” Bergemuruh tepuk tangan semua yang hadir di akhir sambutan singkat Hardi yang telah mengakui kekalahannya hari ini.

***

Beberapa tahun kemudian, warga desa sudah hampir melupakan pemilihan kepala desa yang lalu. Namun tidak demikian dengan Wito. Kepala Desa Sukoharjo ini merasa terbantu dengan sikap Hardi yang sangat kooperatif, dan jika ada segera Hardi turun tangan untuk meredakannya, sehingga selama kepemimpinannya relatif tidak ada gangguan dari para pendukung Hardi yang merupakan rival dalam pilkades lalu. Oleh karena itu, besar keinginan Wito untuk membalas kebaikan Hardi ini.

Pada waktu itu Pemerintah Pusat akan meluncurkan dana bantuan untuk masyarakat miskin. Pemerintahan Desa diminta sebagai ujung tombak untuk memperbaharui data kemiskinan. Harapannya dengan data yang up to date, pemberian dana pengentasan kemiskinan tidak salah sasaran yang akhirnya benar-benar memiliki daya ungkit untuk pengentasan kemiskinan.

Pemerintahan Desa Sukoharjo dengan dikomandani kepala desa bersama tim yang ditunjuk oleh kepala desa segera melakukan pendataan. Dalam waktu kurang dari sebulan data tersebut telah selesai disusun. Kemudian data yang telah disusun tersebut diumumkan di Balai Desa Sukoharjo untuk diverifikasi oleh warga masyarakat, tujuannya agar  warga masyarakat yang merasa memenuhi kriteria tetapi belum masuk untuk segera melaporkan diri sehingga dalam waktu seminggu data dapat dibenahi dan segera dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat melalui Kecamatan.

Banyak warga masyarakat yang datang ke balai desa untuk menanyakan mengapa dirinya tidak masuk dalam data tersebut? Dengan berpedoman pada kriteria panitia yang ditunjuk menjelaskan kepada warga yang bertanya. Dan jika warga yang datang memang sesuai kriteria yang ditetapkan layak dimasukkan data tersebut, maka segera diubah data tersebut.

Tiga hari setelah pengumuman itu ditempel di papan pengumuman balai desa, Hardi datang untuk menanyakan beberapa kejanggalan yang data tersebut. Beberapa kerabatnya masuk dalam daftar keluarga miskin dan sebagian besar kadernya dalam pilkades yang lalu juga masuk dalam data tersebut. Ketika bertanya kepada ketua pendataan, “Itu kebijaksanaan pak Kades, Mas,” jawabnya, “Biar lebih jelas, monggo jenengan saya antar kepada beliau untuk mendapatkan penjelasan.”

“Assalamualaikum,” ketua panitia itu mengucapkan salam di depan pintu rumah Pak Kades. “Waalaikumsalam,” sahut Pak Kades dari dalam rumah. “Monggo masuk Pak Pardi, Mas Hardi, silakan duduk!” sambut Pak Kades, “Ada apa?” tanya Pak Kades lebih lanjut. “Ini saya mengantar Mas Hardi, yang ingin penjelasan terkait dengan data kemiskinan yang telah kita umumkan Pak,” jawab Pardi. “Gimana Mas Hardi, ada sesuatu yang ingin jenengan sampaikan?” tanya Pak Kades kepada Hardi. “Begini Pak Kades, saya mendapatkan berita dari beberapa orang dan setelah saya lihat sendiri data kemiskinan yang diumumkan di Balai Desa, ternyata ada beberapa nama yang seharusnya tidak masuk daftar tersebut. Dan nama-nama tersebut, diantaranya adalah kerabat saya dan beberapa orang yang dulu pernah membantu saya dalam pilkades yang lalu. Apakah tidak sebaiknya data tersebut direvisi?” Hardi menjelaskan maksud kedatangannya.

“Sebelumnya saya minta maaf Mas Hardi, jika apa yang saya lakukan ini kurang berkenan di hati Panjenengan,” Pak Kades mengawali penjelasannya. Hardi masih diam mendengarkannya. “ Selama saya memimpin desa ini, saya merasa sangat terbantu dengan sikap bijaksana Mas Hardi, sehingga dalam menjalankan tugas, saya relatif tidak mendapatkan hambatan. Jika Mas Hardi mau, tentunya banyak jalan agar saya terlihat tidak becus menjalankan roda pemerintahan desa ini,” lamjut Pak Kades. Sambil menarik nafas panjang, Pak Kades melanjutkan penjelasannya, “Saya berharap suatu saat dapat membalas kebaikan Mas Hardi. Oleh karena itu, saya masukkan kerabat Mas Hardi yang paling tidak punya, meskipun itupun masih tidak layak disebut miskin, untuk mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah. Disamping itu, saya masukkan pula orang-orang terdekat Mas Hardi.”

Kemudian, sekarang Hardi yang ganti menarik nafas panjang untuk memulai kata-katanya, “Pak Kades, sikap saya selama ini tidak semata-mata membantu Pak Kades, namun sikap saya ini adalah demi kesejahteraan seluruh masyarakat desa dan demi desa kita tercinta ini,” sesaat Hardi berhenti. “Siapapun kepala desanya, sikap saya ini insya Allah tidak akan berubah,” lanjutnya. “Oleh sebab itu, tidak perlu Pak Kades merasa sungkan danbingung untuk membalas kebaikan saya. Karena menurut saya, hal itu bukanlah kebaikan, tetapi kewajiban setiap warga untuk mendukung pemimpinnya,” Hardi  berhenti sejenak untuk melihat reaksi pak kades. Pak Kades nampak gelisah seperti mengkuatirkan sesuatu. “Saya berterima kasih atas maksud baik Pak Kades, namun akan sangat bijaksana apabila kita membantu Pemerintah untuk mensukseskan program kerjanya, sehingga mereka yang tidak layak untuk disebut miskin, janganlah dimasukkan dalam data kemiskinan. Jika itu terjadi, meskipun Pemerintah Pusat tidak membatasi jumlahnya, namun saya takut di wilayah lain ada masyarakat miskin yang tidak mendapatkan haknya. Jangan sampai kerabat dan orang-orang dekat saya menjadikan penghalang mereka yang di sana untuk mendapatkan haknya,” lanjut Hardi. “Sekali lagi Pak Kades, saya mohon dengan sangat Panjenengan menjalankan pemerintahan desa tanpa tersandera oleh siapapun, termasuk saya, sehingga desa kita akan menjadi desa yang maju, adil dan sejahtera, sesuai cita-cita kita semua,” jelas Hardi. “Saya semakin merasa tidak berarti jika mendengar Mas Hardi bicara,” kata Kepala Desa. “Baiklah kalau begitu, mumpung di sini ada Pak Pardi, ketua tim pendataan, untuk segera merevisi data kemiskinan kita,” lanjut Pak Kades. Hardi pun minta ijin untuk pulang. :Terima kasih Mas Hardi,” kata Pak Kades di depan pintu rumahnya sebelum Hardi melangkah keluar.

Hardi tidak langsung pulang setelah dari rumah Kepala Desa. Dia mampir ke rumah beberapa orang yang namanya tercantum dalam data kemiskinan yang nantinya akan dihilangkan oleh Pak Kades. Hardi mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa miskin atau kaya itu buka perkara kepemilikan harta, tetapi perkara hati yang mampu mensyukuri setiap pemberian Allah kepada kita.

#OneDayOnePost
#ReadingChallengeOdop
#RCO2019
#TugasLevel2
#Level2Tantangan3


Komentar

  1. Wah, terinspirasi dari musim pemilihan kades nih kayaknya

    BalasHapus
  2. Wah, terinspirasi dari musim pemilihan kades nih kayaknya

    BalasHapus
  3. Hardi adalah sosok pemimpin yang terbilang langka di zaman sekarang, namun pasti ada. Atau mungkin sebenarnya masih banyak pemimpin seperti Hardi, hanya saja media lebih "tertarik" memberitakan yang jelek jeleknya saja? Sehingga muncul kekeliruan paradigma di tengah masyarakat? 🤔

    BalasHapus
  4. Jadi membayangkan suasana di sana

    BalasHapus
  5. Padahal biasanya perseteruan antar calon sangat kuat dan bertahan bertahun tahun
    Hebat ini tokohnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEMBERONTAKAN KAUM KHAWARIJ

FATAMORGANA KEHIDUPAN