MANTAN NAPI KORUPSI NYALEG?
Pemilihan
umum merupakan moment yang selalu ditunggu dalam negara yang demokratis.
Pemilihan umum merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat dan sering disebut
sebagai pesta rakyat. Melalui pemilihan umum, rakyat mempercayakan
kedaulatannya kepada mereka yang dipilih. Harapannya, mereka yang terpilih
nantinya bertugas secara amanah untuk memperjuangkan tujuan nasional
sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang undang dasar 1945, konstitusi
kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Dalam
perkembangannya, pemilihan umum di Indonesia terbagi dalam beberapa pemilihan
umum, yaitu pemilihan presiden, kepala daerah, dan legislatif baik DPR RI, DPRD
Provinsi, maupun DPRD Kabupaten/kota serta DPD RI. Pemilihan umum dengan ragam
yang cukup banyak ini memakan uang rakyat yang cukup besar. Oleh karena itu,
pelaksanaannya harus mampu menjamin yang dipilih merupakan mereka yang amanah.
Menjelang
pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada tahun 2019, Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sudah harus mulai mempersiapkan segala keperluan pendukungnya. Salah
satu upaya KPU untuk menjamin agar hasil pemilihan umum khususnya legislatif
yang lebih baik, yaitu dengan menyusun peraturan KPU. Salah satu isi peraturan
KPU yang cukup dianggap kontroversi dan mendapatkan tanggapan yang pro dan
kontra dalam masyarakat adalah larangan bekas nara pidana (napi) untuk
dijadikan calon legislatif.
Secara
normatif, seorang yang melakukan kejahatan, apabila telah menjalani hukumannya,
maka hak-haknya sebagai warga negara harus dikembalikan. Dengan demikian tidak
dibenarkan apabila seorang bekas napi, dengan kejahatan apapun, dilarang untuk
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, kecuali diatur dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun
demikian, yang perlu dicatat bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa,
sehingga sebagai upaya mengikis habis korupsi di negeri tercinta ini diperlukan
upaya-upaya yang luar biasa pula, termasuk hukuman dan perlakukan pasca
menjalani hukuman. Kalau perlakuan yang diberikan kepada koruptor dan mantan
koruptor sama saja dengan perlakukan terhadap kejahatan yang lain, maka perlu
dipertanyakan apakah semua orang di negeri ini menyepakati bahwa korupsi
merupakan kejahatan yang luar biasa?
Pertimbangan
lain, bahwa korupsi yang merupakan kejahatan penyalahgunaan wewenang, hanya
bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan baik di lembaga eksekutif,
yudikatif maupun legislatif, maka sudah sewajarnya apabila mantan napi tindak
kejahatan korupsi dibatasi dan bahkan dilarang untuk kembali memiliki
kewenangan baik di lembaga eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Oleh karena
itu sangat wajar apabila KPU, dalam rangka menjamin hasil pemilihan legislatif
yang lebih kredibel melarang mantan napi tindak kejahatan korupsi mengikuti
kontestasi dalam pemilihan umum legislatif.
Satu
hal lagi yang mungkin perlu dipertimbangkan. Setiap manusia pernah melakukan
kesalahan dan harus menerima konsekuensi logis dari kesalahan tersebut. Dalam
konteks ini, bisa saja setiap mereka yang memiliki kekuasaan dan kewenangan
melakukan penyalahgunaan kewenangan dan melakukan korupsi yang akhirnya
konsekuensinya dihukum. namun bukan berarti setiap mereka yang salah kemudian
tidak mungkin untuk bertaubat dan kemudian mencoba memperbaiki kesalahan yang
telah mereka perbuat. Kita sebagai sesama manusia mesti menghargainya dan
member kesempatan kepada mereka untuk membuktikannya. Demikian pula dengan
mantan koruptor, bisa saja dan sangat terbuka lebar kemungkinan untuk bertaubat
dan mencoba memperbaiki setiap kesalahan yang mereka perbuat.
Menyikapi
hal tersebut, perlu adanya opsi ketiga dalam menanggapi usulan peraturan KPU
untuk melarang mantan napi korupsi untuk nyaleg, yaitu memperbolehkannya dengan
pembuktian bahwa mereka memang bisa diyakini telah bertaubat dan telah cukup
berusaha memperbaiki kesalahannya, dengan jalan melakukan dan mendukung gerakan
anti korupsi. Misalnya, mantan napi korupsi diperbolehkan mencalonkan diri
sebagai anggota legislatif setelah 5 (lima) tahun keluar dari lembaga
pemasyarakatan sebagai terpidana korupsi, dan selama lima tahun tersebut telah
melakukan dan mendukung gerakan anti korupsi, yang dibuktikan dengan membuat
porto folio. KPU-lah yang nantinya menilai porto folio tersebut untuk kemudian
menyatakan bisa atau tidak mereka mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
#Kelasnonfiksi
Bimbang ya mas, di 1 sisi "iya sih manusia bisa berubah" tapi di sisi yg lain "duhh posisi panas tuh, kalau ga kuat iman ya kegoda lagi" 😔 mudah2an banyak orang baik yg mau memimpin..
BalasHapusIya mbak, mungkin jalan tengah adalah yg terbaik, terima kasih sudah disempatkan mampir
Hapus