HARGA SEBUAH PERSAHABATAN
Persaudaraan
dan pertemanan, sebagaimana tanaman, sangat mungkin untuk tumbuh dan berkembang
dengan bunga dan buah yang menggoda untuk dipetik dan dimiliki siapa pun. Namun,
juga memungkinkan untuk layu dan akhirnya mati. Agar tetap tumbuh dan
berkembang diperlukan dirawat, disiram, dipupuk dan dijaga. Meskipun semua
orang menginginkan persaudaraan dan pertemanan yang dijalin mati, tetapi tidak
semua orang mampu memeliharanya, setelah menanamnya, kadangkala dibiarkan
begitu saja. Pupuk yang dibutuhkan persaudaraan dan pertemanan adalah pemahaman
terhadap teman, silaturahmi, dan jika perlu pengorbanan pun harus dilakukan.
Sore
itu, selepas asar, aku memberanikan mengetuk pintu sebuah rumah megah berlantai
dua yang berwarna orange. Rumah itu milik salah seorang tetanggua yang
berprofesi Kepala Sekolah. Teras rumah itu tidak terlalu luas, di tengahnya
terdapat seperangkat meja kursi tamu yang salah satunya diduduki istriku. “Assalamu’alaikum,”
kataku sesaat setelah pintu dibuka oleh seorang lelaki paruh baya dengan
sebagian rambut telah memutih. “Waalaikumsalam, monggo, Mas Agus,” sahutnya
sambil mempersilakan kami masuk. Ruang tamu itu tidak terlalu luas, namun
ditata sangat rapi, seprangkat meja kursi sofa warna hijau nampak gagah memenuhi
sebagian besar ruang yang ada, di dinding nampak lukisan telaga dengan seorang
tua yang menggendong sebuah gentong di tepinya. “Kadingaren, ada yang bisa saya
bantu,” beliau memulai percakapan setelah mempersilakan kami duduk dan
menyodorkan air mineral gelas. “Bu Pri ada?” jawabku dengan sebuah pertanyaan
balik. “Ada, sebentar masih di belakang,” jawabnya sambil berdiri lalu
melangkah ke belakang untuk memanggil istrinya.
Sesaat
kemudian, wanita paruh baya berjilbab dengan senyum khasnya menghampiri kami
dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Ada apa, Bu Agus?” tanyanya. “Mohon
jangan ditertawakan ya, Bu Pri,” kata istriku ragu-ragu sambil melirik ke
arahku. “Mau minta tolong, Bu Pri, kalau uang PKK masih ada, mohon kami
dipinjami,” lanjutnya menjelaskan maksud kedatangan kami dengan malu-malu. “Ada
kok, berapa?” tanya salah seorang pengurus PKK di RT kami itu. “Dua juta, nanti
untuk pembayarannya saya ngikut
aturan PKK” jawab istriku. “Dingaren,
untuk apa sih kalau boleh tahu?”
tanyanya. “Ada teman di Surabaya yang akan menikahkan anaknya, mau hadir tapi
tidak punya uang,” aku ikut menyahut. “Saya pikir untuk apa, sebentar ya,”
katadengan kulit kuning langsat itu
sambil melangkah ke dalam. “Alhamdullilah,” kata istriku sambil menerima
uang dari Bu Pri.
Keseokkan
harinya kami sekeluarga berangkat ke Surabaya untuk menghadiri acara pernikahan
yang diselenggarakan dengan meriah. Keluarga Suwaji menerima kami dengan senyum
gembira dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami. Sepanjang pesta kami
tersenyum, meski aku sadar ada kewajiban yang harus aku bayar untuk membuat
temanku tersenyum. Setelah acara selesai kami pamit, dengan pelukan hangat dan
ucapan terima kasih mengiringi kepergian kami. Ternyata di mobil telah penuh
dengan buah tangan.
Meski
ada sedikit rasa malu, dan menambah beban keuangan kami, demi menjaga
persahabatan, kami relakan. Toh, yang kami lakukan bukan sesuatu yang melanggar
norma dan nilai agama. Mungkin itulah cara kami memupuk persahabatan. Semoga
kita senantiasa dikuatkan menjaga persahabatan, pertemanan dan persaudaraan
kita.
#Onedayonepost
#ODOPbatch5
Komentar
Posting Komentar